Harus Baca! Janji Yang Diucapkan Di Antara Mayat
Angin malam di perbatasan membawa aroma anyir darah dan debu. Di tengah lautan mayat yang membeku, dia berdiri. Bukan lagi Lin Mei, putri kesayangan Jenderal Agung, melainkan Lin Mei yang BARU. Mata almondnya, dulu penuh tawa dan binar cinta, kini berkilauan seperti batu safir di tengah badai salju – dingin, tajam, dan tanpa ampun.
Dulu, Lin Mei adalah bunga peoni yang mekar sempurna di taman istana. Dicintai kaisar muda, dijanjikan tahta permaisuri. Namun, cinta dan kekuasaan adalah racun yang disajikan dalam cawan emas. Kaisar, terpengaruh bisikan para kasim dan selir serakah, menuduhnya berkhianat, merebut gelarnya, dan membantai seluruh keluarganya di hadapannya. Luka itu menganga, mengukir jejak abadi di jiwanya.
Di antara tumpukan jasad orang-orang yang dulu berkuasa dan sekarang hanyut dalam debu, Lin Mei belajar untuk hidup. Dia menemukan kekuatannya bukan pada air mata, melainkan pada keteguhan baja yang ditempa dalam api penderitaan. Dia mempelajari seni bertarung dari para tahanan perang, menguasai strategi militer dari gulungan-gulungan kuno yang diselundupkan oleh seorang mantan pelayan setia. Kelembutan yang dulu menjadi pesonanya, kini dilapiskan dengan lapisan es yang tak tertembus.
Dia membangun pasukan dari para pemberontak, orang-orang buangan, dan mereka yang haus akan keadilan. Dia memimpin mereka bukan dengan amarah membara, tetapi dengan ketenangan yang mematikan. Setiap langkahnya diperhitungkan, setiap keputusannya dipikirkan matang-matang. Senyumnya, yang dulu hangat dan menenangkan, kini hanyalah seringai tipis yang membuat bulu kuduk merinding.
Balas dendamnya bukanlah sekadar pertumpahan darah. Ia merencanakan kejatuhan kaisar dari dalam, menabur benih keraguan dan pengkhianatan di antara para pendukungnya. Dia menggunakan kecantikannya sebagai senjata, memikat para jenderal dan pejabat tinggi, memutarbalikkan kesetiaan mereka, dan menjadikan mereka bidaknya dalam permainan catur kematiannya.
Akhirnya, saat pasukan pemberontak mengepung istana, Lin Mei berdiri di gerbang utama, menyaksikan kaisar yang dulu dicintainya berlutut memohon ampun. Mata Lin Mei tak bergeming. Dia tidak merasakan apa pun kecuali keheningan – keheningan yang lebih memekakkan telinga daripada ribuan teriakan kemarahan.
Dia mengangkat pedang, bukan untuk membunuh kaisar, tetapi untuk membebaskan rakyatnya. Dia mengumumkan pengunduran diri kaisar dan pendirian pemerintahan baru yang adil dan setara. Di saat yang sama, dia memberikan pil maut kepada kaisar, sebuah bentuk 'belas kasihan' yang akan selalu dikenang.
Di hadapan istana yang dilanda kekacauan, di atas tumpukan abu masa lalu, dia berjanji dengan suara yang menggema di seluruh negeri: "Aku akan menjadi ratu bagi diriku sendiri, dan kerajaanku adalah kedamaian."
… Dan mahkota yang ia kenakan kini adalah keheningan yang mematikan.
You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Non