Dracin Populer: Aku Melangkah Menjauh, Tapi Bayanganmu Selalu Lebih Cepat
Aku Melangkah Menjauh, Tapi Bayanganmu Selalu Lebih Cepat
Malam itu ABADI. Udara dingin menggigit kulit, serasa menyayat hingga tulang. Salju turun tanpa henti, menutupi segalanya dengan lapisan putih yang MENYESATKAN. Di atasnya, noda merah darah menyebar, kontras yang mengoyak ketenangan.
Aku melangkah menjauh, berusaha sekuat tenaga menjauh dari kastil terlaknat ini, dari aroma dupa yang menyesakkan yang selalu mengingatkanku padanya. Tapi, bayangannya… bayangannya selalu lebih cepat.
Dia, Li Wei, penguasa kastil Serigala Perak, pria yang kucintai sekaligus kubenci dengan segenap jiwa. Matanya bagai jurang tanpa dasar, menyimpan samudra rahasia di baliknya. Rahasia yang kini mulai terkuak, satu per satu, bagai belati yang menusuk jantung.
Dulu, aku hanyalah seorang gadis desa yang lugu, diangkat menjadi selirnya karena wajahku yang mirip dengan mendiang kekasihnya. Cinta? Mungkin ada setitik harapan, sekilas di antara tatapan dingin dan perintah kasarnya. Namun, kemudian aku tahu… aku hanyalah pengganti. Boneka.
Dan rahasia itu… rahasia tentang kematian ayahku, tentang pengkhianatan yang dirancang oleh keluarganya, tentang KEBOHONGAN yang telah dijalani selama bertahun-tahun…
Setiap malam, aku bermimpi tentangnya. Tentang ciuman panas yang membakar bibirku, tentang bisikannya yang membuatku merinding, tentang janji-janji yang ternyata hanya abu. JANJI DI ATAS ABU.
Aku menemukan surat-surat itu di ruang terlarang. Surat cinta dari ibuku kepada seorang pria lain, bukan ayahku. Dan pria itu… adalah ayah Li Wei. Aku adalah anak haram. Aku adalah buah dari perselingkuhan yang menghancurkan dua keluarga.
Air mata membasahi pipiku, bercampur dengan aroma dupa yang semakin menyengat. Aku menangis bukan hanya karena cinta yang hilang, tapi karena IDENTITAS yang hancur.
Aku kembali ke kastil, bukan sebagai selir yang lemah, tapi sebagai PEMBALAS. Aku melihatnya di aula utama, berdiri di bawah cahaya bulan yang pucat. Matanya memancarkan kebingungan, penyesalan… dan mungkin, cinta yang terlambat.
"Kau tahu?" tanyaku, suaraku bergetar namun tegas.
Dia mengangguk.
"Kau tahu segalanya?"
"Aku tahu… dari awal," jawabnya.
Pengkhianatan yang SEMPURNA.
Aku mengeluarkan belati yang kusembunyikan di balik gaunku. Belati pusaka milik ayahku. Mata kami bertemu. Tidak ada kata. Hanya kebencian, kepedihan, dan dendam yang membara.
Tidak ada perlawanan. Dia membiarkanku menusuknya. Darah membasahi salju di bawah kakinya.
Balas dendamku tenang. MEMATIKAN. Bukan dengan teriakan atau amukan, tapi dengan ketenangan seorang wanita yang telah lama menunggu. Aku melihat nyawanya meninggalkan tubuhnya, perlahan namun pasti. Tidak ada penyesalan. Hanya KELEGAAN.
Aku melangkah menjauh, sekali lagi. Kali ini, bayangannya tidak akan mengejarku lagi.
Udara terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Namun, aku lupa bahwa aku telah mengandung benihnya.
You Might Also Like: Unveiling Truth Can Crickets Take Bite