Endingnya Gini! Kau Tak Ingat Aku, Tapi Jantungmu Masih Bergetar Saat Aku Mendekat
Kau Tak Ingat Aku, Tapi Jantungmu Masih Bergetar Saat Aku Mendekat
Malam di lereng Gunung Tian Shan terasa abadi, selimut salju menutupi luka lama yang menganga. Di bawah rembulan pucat, darah menetes di atas kristal putih, merahnya mencolok, seperti amarah yang membara di tengah dinginnya pengkhianatan. Aroma dupa melayang dari kuil reyot, menyelimuti isak tangis seorang wanita. Xiao Mei. Ia menatap pria di hadapannya, wajahnya setenang danau membeku.
"Kau… kau tidak ingat aku?" lirihnya, suaranya nyaris tenggelam dalam desiran angin.
Pria itu, Jenderal Li Wei, menatapnya tanpa ekspresi. Matanya – mata yang dulu selalu memancarkan cinta untuknya – kini kosong, datar, seperti langit malam tanpa bintang. AMNESIA. Kata itu bergema di benaknya, palu godam yang menghancurkan harapannya.
"Tidak," jawabnya singkat, dingin. "Aku tidak mengenalmu."
Xiao Mei menggigit bibirnya, menahan lahar emosi yang siap meledak. Lima tahun. Lima tahun ia menunggu, merawat lukanya, mengumpulkan kepingan hatinya yang hancur berkeping-keping. Lima tahun ia bersembunyi, merencanakan… PEMBALASAN.
Dulu, mereka saling mencintai. Terlarang. Ia, putri seorang tabib rendahan; dia, putra seorang jenderal terkemuka. Cinta mereka adalah bara api di tengah badai, indah namun mematikan. Hingga, sebuah pengkhianatan. Li Wei dijebak, dituduh bersekongkol dengan musuh. Xiao Mei, demi menyelamatkannya, terpaksa bersaksi melawannya. Ia tahu itu akan menghancurkannya, tapi ia percaya, cinta mereka akan mampu mengatasi segalanya.
Tapi ia salah.
Li Wei lolos dari hukuman mati, namun jiwanya terluka parah. Ia kehilangan ingatannya, dan yang lebih buruk, ia kehilangan cintanya untuk Xiao Mei. Ia menjadi jenderal yang dingin, kejam, ditakuti di seluruh negeri. Dan Xiao Mei? Ia menjadi hantu, menghantui mimpi buruknya, menunggu saat yang tepat untuk membalas dendam.
"Kau mungkin tidak ingat aku," bisik Xiao Mei, air mata mengalir di pipinya, menetes di antara asap dupa. "Tapi jantungmu… jantungmu masih bergetar saat aku mendekat."
Li Wei terdiam. Ia merasakan sesuatu yang aneh, sebuah denyutan sakit di dadanya. Saat Xiao Mei mendekat, aroma tubuhnya – aroma bunga teratai dan kayu manis – membangkitkan kenangan samar, potongan-potongan mimpi yang terasa begitu nyata namun tak dapat diraih.
Malam itu, rahasia lama terungkap. Kebenaran tentang pengkhianatan itu perlahan terkuak, di bawah tatapan dingin bintang-bintang. Xiao Mei menceritakan segalanya, dari awal hingga akhir. Air matanya adalah tinta yang menuliskan kembali sejarah cinta mereka yang ternoda.
Li Wei mendengarkan, tanpa berkedip. Semakin ia mendengar, semakin jelas gambarannya. Ia ingat ciuman pertama mereka di bawah pohon sakura, janji setia di atas abu perapian, tatapan penuh cinta Xiao Mei saat ia terluka. Ingatan itu datang seperti gelombang pasang, menghantam dirinya dengan kekuatan yang tak tertahankan.
Rasa sakit itu… MENYAKITKAN. Rasa bersalah itu… MEMBUNUH.
Di akhir cerita, Xiao Mei berdiri tegak, matanya berkilat dingin. "Dulu, aku menyelamatkanmu. Sekarang… aku akan membebaskanmu."
Ia mengangkat belatinya, bilahnya memantulkan cahaya rembulan. Li Wei tidak melawan. Ia memejamkan matanya, pasrah. Ia tahu, ia pantas mendapatkannya.
Namun, Xiao Mei tidak menusuk jantungnya. Ia menusuk… orang di belakangnya.
Pengkhianat sesungguhnya, orang yang telah menjebak Li Wei, terhuyung ke depan, darah menyembur dari dadanya. Ia menjerit kesakitan, lalu ambruk di atas salju, mati.
Li Wei membuka matanya, bingung.
"Aku tidak akan membunuhmu, Li Wei," kata Xiao Mei, suaranya datar. "Kematian terlalu mudah untukmu. Kau akan hidup, dengan ingatanmu yang kembali, dengan penyesalanmu yang abadi. Kau akan hidup… sendiri."
Xiao Mei berbalik, melangkah pergi, meninggalkan Li Wei yang terpaku di tempatnya. Ia menatap punggungnya yang menjauh, merasakan kekosongan yang tak terhingga. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Di atas salju yang berlumuran darah, aroma dupa dan abu bercampur menjadi satu. Janji di atas abu telah ditepati. Balas dendam yang tenang, namun mematikan. Balasan dari hati yang terlalu lama menunggu.
Dan sebelum kegelapan benar-benar menelannya, Li Wei mendengar bisikan angin yang membawa satu kalimat terakhir: Ingatanmu adalah penjara abadimu, Jenderal.
You Might Also Like: Tormach First Robotics Fixturing And